SENIMAN SEBAGAI RADAR
MASYARAKAT
oleh Rifky Effendy
Mengamati karya lukisan–lukisan Marvin Chan
seolah menegaskan lagi, bahwa narasi menjadi
begitu penting dan dominan dalam praktek seni lukis
dalam budaya masyarakat di Asia Tenggara. Sebagai
perbandingan lahirnya seni modern di Indonesia
menjadi bagian, bahkan proyek dari pembentukan
nasionalisme pasca Perang Dunia II, dimana terjadi
gelombang besar pembebasan bangsa-bangsa
terutama di wilayah Asia, Afrika dan Amerika Latin
dari kungkungan penjajahan bangsa Eropa sejak
beberapa abad, sebagai suatu bentuk kesadaran
politik dan identitas modern. Dengan kata lain,
bahwa narasi sangat penting didalam sebuah lukisan
sebagai yang inheren didalam terjadinya sebuah
karya seni karena mengandung ‘pesan’ seorang
seniman yang didasari moral untuk mengedepankan
kebenaran suatu nilai-nilai tertentu, dalam hal ini
perjuangan untuk memerdekakan masyarakatnya
dari penjajahan. Tentu saja, dalam konteks itu
setiap bangsa di Asia Tenggara mempunyai
persoalan yang unik dan berbeda-beda didalam
pergerakannya.
Tetapi yang menarik adalah bagaimana gerakan
tersebut ternyata bisa membangun suatu nilai
sejarah seninya tersendiri, dan tidak terkait dengan
perkembangan sejarah seni di Eropa dan menjadi
paradox dan ironinya. Satu sisi pengetahuan modern
dari barat yang dibawa oleh pendidikan yang
diterapkan para penjajah di tanah jajahan, lama
kelamaan menjadi peluru dan kemudian digunakan
untuk “menembak balik” dan mengusir keluar para
penjajah dari tanah air. Maka walaupun para seniman
setelah gerakan-gerakan nasionalisme berlalu sudah,
semangat untuk membela suatu nilai moral ini
terus-menerus ada didalam darah seninya.
Tentulah ada masa-masa mencari identitas diri,
inkubasi atau internalisasi estetik dengan merenungi,
mencemplungkan diri kepada “seni untuk seni”,
memperkuat sisi-sisi formal dan menajamkan
konsepsi didalam kelas-kelas pendidikan seni
maupun ruang-ruang pameran, mencatatkan dan
membuktikan diri untuk menyumbangkan nilai
dalam sejarah seni masing-masing. Tetapi bila ada
ketimpangan didalam kehidupan sekitarnya,
seniman yang baik adalah yang bisa ‘merasakan’
dan ditumpahkan kedalam karya-karyanya.
Seperti diungkapkan seorang kritikus bahwa seniman
adalah ‘radar’ bagi masyarakat sekitarnya.
Lukisan-lukisan Marvin Chan, selain menandai
suatu perkembangan praktek seni lukisnya dan seni
lukis kontemporer di Malaysia, tetapi yang menarik
adalah narasi yang tersembunyi didalam karyakaryanya.
Karya-karya Marvin menangkap persoalan
sosial-politik yang mungkin sedang terjadi didalam
kehidupan masyarakatnya. Seperti yang tampak dari
lukisannya yang menampilkan sosok-sosok manusia,
apakah perempuan, maupun anak-anak yang tampak
terdistorsi dan tak simetris. Dilatar belakangnya
tampak diisi oleh imej floral, seperti dedaunan,
bunga-bunga dengan warna-warna yang cenderung
menua, bahkan membusuk. Dengan penerapan
warna-warna keunguan, kemerahan, oker namun
lebih cenderung monokromatis dan gelap. Sehingga
lukisan-lukisan Marvin memancarkan ambien
seperti dalam seperti dalam film arahan Tim Burton;
The Nightmare Before Christmas (1993).
Dalam percakapan melalui WhatsApp, Marvin
mengungkapan bahwa lukisan-lukisannya berupaya
untuk mengungkapkan tentang persoalan sosial
yang berawal dari praktek korupsi yang terjadi
saat ini, dan dampaknya kepada masa depan suatu
generasi. Dengan kata lain karya-karya lukisan
Marvin merepresentasikan persoalan sosial yang
juga melanda masyarakat di negara-negara
yang sedang berkembang di Asia Tenggara.
Karya-karyanya mengingatkan dan senada dengan
karya-karya seniman lain di Malaysia seperti
Jalaini Abu Hasan, karya-karya Bayu Utomo Radjikin,
maupun karya anggota kelompok Matahati, yang
seringkali mengandung kritik-kritik sosial, politik
maupun budaya aristokrasi-birokrasi di Malaysia.
Karya-karya para seniman Malaysia yang disebutkan
diatas banyak menggunakan metaphor untuk
menjelaskan subyek matter mereka.
Pengalaman di Indonesia, ketika rezim Suharto
berkuasa selama 32 Tahun. Kekangan dan
pembungkaman kepada kehidupan politik dan
bersuara didalam masyarakat telah menghasilkan
gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan oleh
para seniman. Tentunya sebagai gerakan, para
seniman ini tidak harus turun ke jalanan tetapi
lebih kepada ungkapan-ungkapan didalam karya
mereka. Seperti Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) di
pertengahan 1970-an yang melalui karya-karya para
seniman muda seperti FX Harsono, Jim Supangkat,
Bonyong Adhi Murdi, Nyoman Nuarta dan lainlainya,
banyak mengomentari seputar persoalan
realitas seni dan masyarakatnya, maupun terkait
dengan situasi sosial dan politik kebudayaan
Orde-Baru. Setelah masa itu banyak seniman
yang peduli terhadap keadaan sosial-politik,
berkarya dengan menggunakan metafora; dengan
simbol-simbol dan tanda-tanda yang tersembunyi.
Pada masa-masa reformasi di akhir 1990-an,
seiring dengan semakin besarnya desakan para
mahasiswa untuk menurunkan Presiden Suharto.
Dari kekuasaannya. Karya-karya para seniman
yang sebelumnya menggunakan metafora karena
ancaman sensorship rezim Orde Baru kepada dunia
kesenian sejak awal mereka berkuasa. Pada masa
reformasi banyak para seniman semakin gamblang
bahkan terlalu verbal dalam mengungkapan suatu
persoalan, dengan menggambarkan sosok-sosok
yang menunjukan para penguasa, maupun gesture
yang mengarah kepada mereka. Seperti karya-karya
kelompok Apotik Komik, Dadang Christanto dan
Tisna Sanjaya.
Pada lukisan-lukisan Marvin Chan, nuansa murung
mendominasi; image bunga-bunga yang membusuk,
wajah-wajah anak-anak yang tak sempurna
merupakan ungkapan sang seniman dalam
menggambarkan situasi masyarakat sekitarnya.
Tentunya, dalam era teknologi informasi global
sekarang ini setiap orang bisa mengakses berbagai
informasi, tidak lagi terbatas dari media massa
konvensional, yang sering mendapatkan pembatasan
pemberitaan maupun sensorship dari pemerintah
yang berkuasa. Tetapi juga ada banyak sumber
informasi yang disalurkan melalui jejaring sosialmedia
dan berbagai situs maya internet. Pembatasan
berbagai informasi penting bahkan rahasia-pun saat
ini seringkali bocor ke khalayak oleh para hecker
yang mampu meretas berbagai data computer milik
instansi perusahaan, militer maupun pemerintahan
sebuah negara. Yang kontroversial mungkin
penangkapan pendiri situs Wikileaks, Julian Assange
oleh pemerintah beberapa negara. Terakhir mungkin
yang menghebohkan munculnya Panama Papers
pada bulan April lalu yang mengguncang banyak
pengusaha maupun pemimpin Negara-Negara,
termasuk Perdana Menteri Islandia; Sigmundur Dav..
Gunnlaugsson yang serta merta melengserkan diri.
Berbagai isu korupsi para pemimpin maupun
petinggi di berbagai Negara di Asia Tenggara bukan
lagi suatu fakta yang bisa ditutup-tutupi rapat oleh
suatu kekuasaan. Badai isu korupsi ini juga menerpa
Malaysia, apalagi saat ini secara pertumbuhan
ekonomi, Malaysia adalah Negara yang paling
menjanjikan di Asia Tenggara. Tentunya persoalan
korupsi ini bukan persoalan yang remeh bagi
sebuah bangsa. Seperti pengalaman di Indonesia,
korupsi telah merusak mental dan budaya, yang
kemudian berdampak kepada berbagai sendi
kehidupan masyarakat. Seperti pembangunan
infrastruktur di berbagai wilayah Negara, yang lebih
mengkhawatirkan terutama berdampak kepada generasi penerus bangsa tersebut. Sistim pendidikan
yang didasari oleh sistim pemerintahan yang korup
bagaimanapun akan berdampak sistemik kepada
kualitas suatu generasi dimasa depan. Menghalalkan
segala cara untuk suatu tujuan tentunya memberikan
cara berpikir dan mentalitas yang rapuh. Maka,
korupsi, bagi masyarakat Indonesia adalah musuh
besar yang harus diperangi.
Simbol-simbol pada lukisan Marvin sangat tepat
untuk menggambarkan situasi dan kondisi tersebut.
Bunga-bunga yang seharusnya berwarna cerah dan
wajah anak-anak yang lucu dan menggemaskan
kemudian berubah menjadi layu, menandai
proses pembusukan, kusam, tak simetris, kotor.
Upaya ini merupakan penafsiran sang seniman
untuk mendramatisasi situasi mengenai masa
depan, sebagai suatu peringatan/alert dari
denyut jiwa masyarakat disekitar kehidupan sang
seniman. Seniman Indonesia, S. Sudjojono pernah
mengungkap, pada akhir dekade 1930-an, bahwa
lukisan dan kesenian harus mempunyai “jiwa-khetok”
atau “Jiwa Tampak”. Bagi pemikirannya, lukisan
dan karya seni haruslah memiliki getaran jiwa yang
mewakili suatu masyarakat. Bagi Sudjojono seni
(lukis) haruslah memiliki kaitan dengan kondisi sosial,
budaya dan politik. Menanamkan nilai kritisisme
dan pembelaan moral kepada suatu kebenaran dan
masyarakatnya. Terutama ketika masyarakat tersebut
berada dalam suatu penindasan.
Karya-karya lukisan Marvin Chan menjadi indah
karena memiliki suatu nilai kebenaran (moment of
truth) tertentu yang berawal dari kepekaan kepada
lingkungan sekitarnya. Menyiratkan suatu urgensi
kepada masyarakat dan bangsanya tentang sesuatu
yang tengah terjadi dan berakibat yang kurang
baik kepada mereka sendiri di masa depan. Dan
kewajiban seorang senimanlah mengirimkan sinyalsinyal
tersebut untuk menyelamatkan masa depan
bangsa dan negara.